Selasa, 05 Juni 2012

Anak-anak Dakwah


Sahabat,
Tahukah Anda, kita bisa memiliki anak meskipun kita belum menikah? Kok bisa?
Apa sih yang tak bisa terjadi dalam hidup ini. Terlalu banyak keajaiban yang bisa jadi beratus-ratus halaman tak akan cukup untuk menuliskannya. Sekali lagi kita berhak memiliki anak ini meskipun kita belum menikah. Meskipun kita tak pernah mengandungnya selama sembilan bulan. Meskipun kita tak menyusuinya. Meskipun kita tak pernah meninabobokannya saat menjelang tidurnya. Meskipun kita tak harus membanting tulang memenuhi kebutuhannya. Meskipun kita sama sekali tak pernah membiayai sekolah atau kuliahnya. Lebih hebatnya lagi, kita bisa menjadi orang tua bagi anak-anak ini meskipun usia mereka berpuluh-puluh tahun umurnya di atas kita
Wah anak apakah ini? Apakah anak-anak seperti ini nyata dan ada di bumi?
Anak yang saya deskripsikan di atas adalah anak-anak Dakwah. Anak-anak Jariyah. Anak-anak yang akan mengalirkan pahala tiada putus-putusnya kepada orang tuannya. Anak-anak yang dilahirkan dari rahim dakwah. Anak-anak dakwah yang akan melahirkan cucu dan cicit dakwah dan cicit-cicit dakwah selanjutnya. Sebuah keluarga dakwah yang mengalirkan pahala jariyah yang tiada putus-putusnya.
Sahabat,
Beruntung sekali jika kita bisa memiliki anak-anak dakwah yang selanjutnya juga akan melanjutkan keluarga dakwah berpuluh-puluh tahun hingga kiamat nanti. Walau kita sebagai orang tuanya telah terkubur ratusan tahun ternyata limpahan pahala akan mengalir tiada putus-putusnya hingga dunia berakhir.
Sahabat,
Anak-anak dakwah adalah anak-anak yang kita rekrut dan bina untuk menjadi kader dakwah selanjutnya. Anak-anak yang kita ajarkan kebaikan kepadanya kemudian dia mengajarkannya kepada yang lain. Anak-anak dakwah yang meskipun tidak ada kesamaan DNA, dia kita bimbing sepenuh hati untuk menjadi manusia hebat yang juga akan menghebatkan orang lain. Sejatinya kita hari ini juga anak-anak dakwah dari orang tua-orang tua dakwah kita yang ikhlas membina sepenuh hati. Subhanallah kenapa Abu Bakar dapat penghargaan tertinggi dalam hal balasan pahala hingga jika ditimbang pahala Abu Bakar dengan pahala seluruh orang beriman selain Rasulullah, timbangan amal Abu Bakar lebih berat. Jawaban nya sederhana, karena Abu Bakar telah sukses menjadi orang tua dari anak-anak Dakwah sekelas Utsman Bin Affan, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurahman bin Auf dan anak-anak dakwah hebat lainnya. Kemudian anak-anak itu menyebar ke muka bumi menyampaikan kebaikan dan merekrut serta membina anak-anak dakwah baru. Amalan-amalan hebat dari anak-anak dakwah itu juga bisa dinikmati pahalanya oleh orang tuanya tanpa mengurangi sedikit pun balasan amal hebat yang telah dilakukannya.
Sahabat,
Sudahkah kita hari ini memiliki anak-anak dakwah? Jika belum carilah dan pantaskan diri untuk menjadi orang tua yang baik untuknya. Binalah mereka dengan energi ketulusan yang kau miliki. Binalah mereka dengan pengorbanan di atas rata-rata. Jadilah kau pegangan dalam titian jalannya menuju surga. Jangan kau lepaskan pegangan titian itu hingga dia mampu berjalan sendiri. Hingga saatnya dia menjadi pegangan bagi titian yang dilalui oleh anak-anak dakwahnya. Hingga anak-anak dakwahnya juga akan melahirkan anak-anak dakwah baru. Hingga anak-anak dakwah akan selalu lahir mewarnai muka bumi.
Sahabat seringkali kita menunda untuk memiliki anak dakwah. Padahal peluang itu hampir setiap detik ada di hadapan kita. Ada sebuah pepatah yang mengatakan, banyak anak banyak rezeki. Ayo kita perbanyak anak dakwah kita karena Rasulullah sendiri bangga pada umatnya yang memiliki banyak anak.
Betapa banyak anak-anak terlantar tanpa ada yang mau mengurusnya. Mereka masih sering meninggalkan shalat, masih terbiasa membuka aurat, masih terbawa budaya-budaya barat yang terkadang menyalahi kodrat. Sementara di rumahnya mereka juga memiliki orang tua yang tak peduli dengan perkembangan dirinya. Kalau sudah seperti ini siapa yang lagi yang akan mengurusnya kalau bukan kau wahai para pejuang dakwah?

Dilema Batasan “Sopan” Pakaian Perempuan


Dilema Batasan “Sopan” Pakaian Perempuan

Gaung produktivitas perempuan terdengar nyaring. Namun, kencangnya gaung seringkali berbenturan dengan tradisi agama dan budaya patriarkis yang masih kentara. Produktif dalam arti menghasilkan yang dilakukan perempuan dalam konteks kekinian telah melebur. Kiprahnya tidak hanya pada tataran dunia bisnis dan urusan domestik rumah tangga. Namun mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk kelihaian mereka melakukan diplomasi.
Kaum perempuan akan semakin menampakkan kebolehannya saat tata aturan yang membatasi tidak lagi dihiraukan. Tidak hanya pengaruh positif, terlebih dampak negatif. Agama dan adat ketimuran bias tanpa pengamalan kecuali oleh segelintir orang, hanya berupa lips service yang menghiasi khasanah diskusi, seminar dan bahan mata pelajaran.
Alkisah, dalam suatu tatap muka perkuliahan pembahasan etika. Terjadi perseteruan antara beberapa mahasiswa dalam persentasi makalah. Salah satu peserta pembanding adalah Madona. Dona, demikian akrab namanya dipanggil. Ia perempuan trendi masa kini yang acapkali menggunakan rok mini, lengkap dengan riasan kosmetik dan bagian dada sedikit terbuka.
Dalam sesi tanya jawab, Dona mengacungkan tangan sebagai pertanda lontaran pertanyaan yang akan diajukan. “Apa tanggapan kelompok anda terkait budaya Barat yang dengan gamblang kita sebagai kaula muda menirunya? Padahal, Indonesia dengan adat ketimuran menjunjung tinggi nilai kesopanan. Namun, tidak ada batasan “sopan” yang dimasud. Sehingga model pakaian seperti yang saya gunakan pun saya anggap masih sopan”.
Pais, dalam tanggapan kelompok tanpa beban mengungkapkan bahwa hal demikian kembali kepada pribadi /individu masing-masing. Karena merupakan hak asasi manusia untuk berkreasi selama nyaman untuk digunakan.
Hal ini dikuatkan dengan argumentasi Immanuel Kant yang menegaskan teori hak (right theory) yaitu suatu tindakan atau perbuatan dianggap baik bila perbuatan atau tindakan tersebut sesuai dengan hak asasi manusia (HAM). Tandas Pais penuh semangat.
Tidak ingin kalah, Rizal selaku moderator menambahkan bahwa salah satu otoritas (Weiss, 2006) hak moral kemanusiaan adalah (moral, human right) yang berarti berkaitan dengan kepentingan individu sepanjang hal itu tidak melanggar hak-hak orang lain.
Ditengah diskusi yang mengarah kepada pembenaran etika buruk berpakaian kebanyakan pemudi yang tanpa sadar menurunkan moral bangsa. Dosen pengampu mata kuliah masih tenang mengamati jalannya diskusi.
Kegemingan suasana belajar mendorong Nurul, mahasiswa yang kental dengan adat ketimuran untuk menyuarakan pendapat. “Berdasarkan teori utilitarianisme yang dipelopori oleh David Hume menjelaskan suatu tindakan disebut etis bila mampu memberikan manfaat sebanyak-banyaknya bagi masyarakat. Dan suatu tindakan disebut tidak etis bila akibatnya lebih banyak merugikan sebagian besar anggota masyarakat.
Lekat di benak kita ungkapan yang popular dalam dunia sosial yaitu “the greatest happiness of the greatest number”. Ukuran baik tidaknya suatu tindakan dilihat dari akibat, konsekuensi atau tujuan dari tindakan itu. Apakah memberi manfaat atau tidak.
Jadi, pakaian Saudari Dona hendaknya kita tilik tidak hanya pada kenyamanan pribadi tanpa peduli konsekuensi, akan meningginya tindak kriminalitas yang terjadi, gejala kenakalan sosial remaja, eksisnya seks bebas dan pudarnya pesona wajah Indonesia di mata dunia.
Mungkin Saudari Dona tidak merasakan langsung akibat pakaiannya, namun bagi laki-laki yang melihat dan menimbulkan keinginan syahwat dapat melampiaskan kepada perempuan lain saat peluang terbentang. Tadi Saudari sampaikan bahwa Indonesia dengan adat ketimuran tidak memiliki batasan “sopan”, hemat saya sebagai kaum terpelajar kita perlu memfilter, menyaring hal mana yang berdampak kebaikan untuk kemajuan Indonesia”.
Suasana ruangan tegang dengan penguatan argumentasi Nurul yang menyanggah argumentasi sebelumnya. Namun, dosen mematahkan penjelasan Nurul dengan dalih tidak ada peraturan yang menyalahkan tindakan perempuan semisal Saudari Dona. Jadi dalam hal ini, sah-sah saja berpakaian seperti itu sepanjang Negara sendiri tidak mempermasalahkannya.
Pandangan Masyarakat
Cerita di atas adalah kisah nyata yang sering kali menjadi diskursus oleh kalangan mahasiswa. Sungguh miris saat mempelajari ideologi yang tanpa sadar mencemari paradigma berpikir terutama kaum intelektual. Lahirlah para lulusan yang liberal memandang enteng kebiasaan manusia menjadi sebuah kebenaran.
Masyarakat Indonesia dominan untuk meniru dan memodifikasi bukan melakukan inovasi, termasuk dalam hal pakaian perempuan. Kebiasaan perempuan masa kini dengan mengumbar tubuh dianggap benar, ciri kebanggaan oleh sebagian orang.
Karakter seseorang ditentukan oleh kebiasaan yang terbentuk dengan tindakan berulang-ulang. Tindakan yang berulang-ulang ditentukan oleh tujuan /makna hidup yang ingin dicapai. Dan makna hidup ditentukan oleh paradigma berpikir.
Berdasarkan asumsi ini maka manusia cenderung menjadikan kesenangan/ materi dunia sebagai tolak ukur kebahagiaan. Terbukti dengan tingkah laku manusia yang mengabaikan agama sebagai basis adanya kehidupan akhirat.
 “Dulu pada tahun 1980 an, tabu saat ada laki-laki dan perempuan duduk berdekatan. Apalagi pegangan tangan. Maka siapapun yang melakukan akan dikucilkan dalam masyarakat” Demikian kisah yang dituturkan dari Mbak buyut. Seorang nenek tua yang berceloteh masa mudanya.
“Sekarangkan zamannya dah beda”, demikian sanggahan kita terkait penuturan si Mbah. Namun tidakkah kita berpikir bahwa pergeseran yang terjadi sangat jauh dan merendahkan kehormatan seseorang. Membalikkan tata nilai kebenaran dan memanipulasi semua keadaan.
Wal hasil yang benar dianggap salah dan yang salah dianggap benar. Pakai rok mini, pakaian ketat, budaya pacaran hingga mojok di perempatan jalan adalah hal wajar yang seolah dianggap benar. Sedangkan dianggap salah jika ada pemuda yang langsung menikah tanpa pacaran, maka masyarakat akan menganggap sudah “hamil” duluan. Hal ini terjadi karena pacaran seperti sebuah keharusan untuk medapatkan jodoh. Perlahan menjadi sebuah kebenaran dalam tatanan bermasyarakat.
Masalah besar moral adalah kumpulan dari masalah- masalah kecil yang menumpuk. Berawal dari hal yang dianggap sepele dan membenarkan yang salah. Sedari kecil anak dibiarkan menonton televisi yang berbaur pacaran bahkan ciuman, walaupun dilakukan oleh film karton. Orang tua tidak risih melihat sang anak mengikuti nyanyian dan jogetan orang dewasa yang menyinggung soal cinta dan seks walaupun si anak tidak tau apa maksudnya.
Sampai SD anak mulai disibukkan dengan model pakaian terbuka yang sering dibelikan orang tua, pacaran kecil-kecilan menjadi hal wajar. Tidak hanya itu, kondisi orang tua dan masyarakat yang biasa mencibir, berkata kotor dan sejubel kebiasaan buruk, itulah yang kemudian masuk dalam memori anak.
Hingga SMP anak mulai masa pubertas. Awalnya hanya pacaran biasa yang dibiarkan orang tua. Lalu tanpa kontrol yang ketat dari guru dan keluarga, si anak tak jarang hingga menghilangkan keperawanannya. Fase ini hingga SMA sederajad. Aborsi pun meningkat.
Hiburan malam berupa diskotik, bar,  bioskop, mal, tempat rekreasi turut sibuk menawarkan kenikmatan sesaat. Lalu…. Apakah dalam kondisi ini para pembesar Negara dan orang tua menyalahkan anak???
Penguasa Negeri hendaknya tidak hanya memikirkan devisa Negara atas nama pajak yang dikeluarkan para pengusaha. Namun juga memikirkan nasib generasi muda saat ini. Rokok misalnya. Berawal dari rokoklah pemuda terikut arus dalam narkotika hingga wabah penyakit HIV /AIDS.
Berbagai kritikan dan masukkan pedas sudah banyak terlontarkan baik melalui media massa audio dan audio visual. Ditengah kegersangan etika moral bangsa, seringkali orang tua khawatir akan nasib anaknya di kemudian hari. Teknologi semakin menghantui, bayangan keburukan moral yang semakin hari semakin tidak terkendali.
Kalau  tidak dari sekarang dilakukan perbaikan kapan lagi. Kalau tidak dimulai dari kita siapa lagi. Masyarakat tidak bisa berpangku tangan kepada pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini. Terutama dengan kondisi penguasa  yang penuh dengan liku ambisi di balik kebijakan dan aturan yang diberikan.
Penyadaran masyarakat akan menuntun perbaikan moral secara perlahan. Namun jika masyarakat juga acuh tak acuh terhadap ancaman karakter bangsa yang hilang. Maka  kondisi ini akan menjadi bumerang untuk keberlangsungan hidup manusia di masa yang akan datang.

RUU Kesetaraan Gender Malu-Malu dan Memalukan


RUU Kesetaraan Gender Malu-Malu dan Memalukan

Perspektif gender menjadi bias dalam tataran konsep. Mencuatnya Rancangan Undang-Undang ini menimbulan pertanyaan mendasar terkait dengan apakah selama ini peraturan di Indonesia mengenyampingkan perempuan. Negara didesak untuk lebih responsive gender serta menyamaratakan laki-laki dan perempuan dalam setiap aspek kehidupan.Instrumen pelaksanaan dalam RUU KKG terjelma dalam pengarusutamaan Gender (PUG) yang diselenggarakan oleh setiap instansi pemerintahan tingkat pusat dan daerah. Namun mekanisme yang dimaksud masih rancu. Maksudnya sasaran yang ingin dicapai seperti apa dengan kondisi di Indonesia bukan masalah pengaturan, akan tetapi komitmen yang rendah dalam penyelenggaraan negara.Rancangan UU Kesetaraan Gender banyak timpang tindih dengan perundangan yang sudah ada. Misalnya UU Agraria, Kewarganegaraan, Perkawinan, dan Kompilasi hukum Islam. Pemahaman sensitive gender belum mengakar dalam masyarakat Indonesia sebagai alternatif pemikiran, karena konstruksi gender belum banyak yang memahami.
Konsep Gender Mainstreaming yang telah mempengaruhi dunia, termasuk Indonesia terlihat dalam usaha menjadikan agenda kesetaraan gender secara legal formal termaktub dalam peraturan yang disahkan. Tanpa sadar Indonesia telah melakukan penjajahan terselubung oleh kelas proletar (para perempuan) melalui propaganda yang tidak rasional.
Banyak perempuan yang tidak menyadari bahwa dirinya telah ditindas. Isu kodrat perempuan yang dengan suka rela mengasuh anak, atau memasak untuk keluarga yang seharusnya dilakukan bersama 50 : 50 dengan suami. Dengan propaganda ini maka kaum proletar akan merasa nyaman dengan kesamaan hak dan tanggung jawab yang justru mengurangi hak dan kebebasannya dalam mengasuh anak. Kondisi ini akan merugikan kaum perempuan, terutama yang ingin menjalankan peran keibuannya secara fulltime.
Polarisasi kelas sebagaimana yang diatur dalam agama dan budaya masyarakat dengan suami sebagai pemimpin keluarga menjadi luntur. Kemudian akan menimbulkan konflik dan runtuhnya sistem hirarkis. Dengan itu maka lahirlah egaliter masyarakat tanpa kelas dengan kedudukan laki-laki dan perempuan sama.
Kodrat Alamiah
RUU KKG mencoba untuk merubah sikap dan paradigma rakyat Indonesia mulai dari tataran penyelenggara negara. Perempuan dan laki-laki dijamin untuk mempuyai kesempatan yang sama, tidak harus dengan hasil yang sama, karena adanya kondisi, kemampuan yang berbeda-beda yang harus dihormati.
Isi bab 1 pasal 1 ayat 2 tentang defenisi kesetaraan gender yang diartikan sebagai kesamaan kondisi dan posisi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan. Hal ini adalah bentuk pemaksaan yang bertentangan dengan hukum alam.
Kodrat, bakat, aspirasi dan  kebutuhan manusia beragam dengan adanya perbedaan  keadaan biologis, latar belakang keluarga, sosial budaya, pendidikan, maupun kepercayaan yang dianut oleh setiap manusia.  Kesemuanya itu selalu melekat dalam kehidupan bermasyarakat.
UU Kesetaraan gender ini bersifat ambisius. Memaksakan secara tidak langsung kodrat alamiah yang melekat dalam setiap pribadi individu baik laki-laki maupun perempuan. Perspektif gender dalam draf UU ini perlu ditinjau ulang apa sebenarnya yang menjadi tujuan awal.
Tujuan pada pasal 3 huruf a tercantum persamaan laki-laki dan perempuan di semua bidang kehidupan. Salah satu bidang kehidupan adalah keluarga yang didalamnya terdapat salah satu ritual yang sangat penting yaitu pernikahan.
Artinya jika disetarakan laki- laki = perempuan maka seorang perempuan bebas menentukan siapa yang akan menjadi suaminya, apakah laki- laki ataukah perempuan. Begitupun laki-laki, ia bebas menentukan siapa yang akan menjadi istri apakah sesama jenis yaitu laki-laki atau perempuan.
Secara malu-malu RUU kesetaraan gender berkata kepada dunia bahwa halal homoseksual dan lesbian. Pada akhirnya menjadi UU yang memalukan untuk kelanjutan kehidupan Indonesia di masa yang akan datang. Mengancam moral bangsa. Oleh karena itu perlu banyak revisi yang harus dilakukan DPR RI dalam hal ini Panja (panitia kerja) yang menggodok RUU KKG.
Secara legal formal UU ini justru menentang struktur masyarakat, adat, budaya dan kepercayaan yang dianut di Indonesia. Hal ini berpotensi menambah masalah-masalah baru. Belum disahkan saja, di negeri ini tingkat perceraian sudah tinggi, apalagi jika UU kesetaraan gender ini disahkan.
Belajar dari negeri asing ternyata semakin tinggi tingkat kemajuan suatu bangsa maka tingkat kesuburan perempuan semakin rendah. Misalnya di Jepang, perempuan yang bersedia hamil dan melahirkan dibayar oleh Negara atas jasanya memberikan tunas baru, karena begitu sulitnya menemukan anak-anak yang notabene penerus dan pewaris peradaban.
Kondisi ini berawal dari penyamarataan laki-laki dan perempuan, sehingga para perempuan bebas untuk tidak hamil dan melahirkan sebab dilindungi oleh UU. Hal inilah dampak atas pelanggaran kodrati manusia. Karena keadilan tidak harus pada proporsi yang sama.
Adil bukan berarti 50 : 50. Contoh seorang ibu rumah tangga yang harus membagikan uang (Rp. 3.000.000,-) untuk kebutuhan anak- anak. Tentu ia akan memberi porsi anak yang sedang kuliah lebih besar (Rp. 2.500.000,-) dibandingkan anak yang masih SMP (Rp. 500.000,-). Sangat tidak rasional jika pembagian secara merata dengan porsi masing- masing Rp. 1.500.00,- karena tingkat kebutuhan uang atas setiap anak berbeda- beda.  Adil tidak harus sama/ setara.
Begitu sulitnya mengandalkan niat baik penguasa negeri ini. Kalau memang ingin membela perempuan tidak dengan cara lempar batu sembunyi tangan. Ibarat perempuan yang dilemparkan ke dalam sungai dalam kondisi terbelenggu, kemudian orang yang melemparkan berkata “hati- hatilah jangan sampai tubuhmu basah terkena air”.
Banyak lembaga – lembaga, organisasi mahasiswa dan elemen masyarakat yang menolak Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender. Proses pengayaan UU yang dilakukan penguasa negeri ini, hendaknya memperhatikan setiap kritikan dan masukan sebagaimana pengertian demokrasi, yaitu dari rakyat, kepada rakyat dan untuk rakyat.

Fadilah Bertasbih


dakwatuna.com - Allah SWT mengawali tujuh suratNya dalam al-Qur’an dengan tasbih. Betapa banyak ayat tasbih yang Dia turunkan dalam KitabNya agar dipergunakan oleh manusia yang suka bertasbih memanjatkan pujian kepadaNya.
Allah SWT berfirman:
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Tak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memujiNya, tetapi kamu semua tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS al-Isra’: 44)
“…dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya, dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang.” (QS ThaHa: 130)
Rasulullah saw bersabda:
“Ada dua kalimat yang ringan diucapkan tetapi berat timbangannya, dan sangat disenangi oleh Allah swt, yaitu: Subhaanallah wa bihamdidhi subhaanallahil ‘adzhiim” (HR Ahmad, Al Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibn Majah dari Abu Hurairah RA)
“Ucapan yang paling Allah swt sukai ada empat, yaitu:
Mahasuci Allah: سبحان الله
Segala puji bagi Allah:   والحمد لله
Tiada Tuhan selain Allah:    ولا إله إلا الله
Allah Mahabesar          والله أكبر:
Engkau boleh memulai dari yang mana saja.” (HR Ahmad dan Muslim dari Samrah bin Jundab RA)
“Barangsiapa bertasbih kepada Allah swt setiap selesai shalat sebanyak tiga puluh tiga kali, bertahmid tiga puluh tiga kali, bertakbir tiga puluh tiga kali, sehingga berjumlah Sembilan puluh Sembilan, dan menggenapkannya menjadi seratus dengan:  laa ilaaha illallahu wahdahu laa syariika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai’in qodiir, maka semua kesalahannya akan diampuni oleh Allah swt meskipun sebanyak buih di lautan.” (HR Ahmad dan Muslim dari Abu Hurairah RA)
Mengucapkan:
سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر
Adalah lebih aku sukai dari pada terbitnya matahari.” (HR Muslim dari Abu Hurairah RA)
“Tasbih itu setengah timbangan, alhamdulillah, dan laa ilaaha illallah tidak ada penghalang dari Allah hingga ia sampai kepadaNya.” (HR Tirmidzi dari Ibnu ‘umar RA)
“Tidaklah mati seekor binatang buruan, dan tidaklah ditebang tumbuh-tumbuhan kecuali hal itu mengurangi jumlah tasbih.” (HR Abu Nu’aim dalam al-Hilyah dari Abu Hurairah RA)
“Maukah aku ajarkan kepadamu seperti apa yang diajarkan Nuh kepada anaknya. Kuperintahkan kamu agar bertasbih kepada Allah dan memujiNya karena sesungguhnya ia adalah shalawat dan tasbih semua makhluk, dan dengannya semua makhluk dikaruniai rezeki.” (HR Ibn Abu Syaibah dari Jabir RA)
“Barangsiapa mengucapkan:
سبحان الله وبحمده
Seratus kali setiap hari, maka semua kesalahannya akan dihapuskan meskipun sebanyak buih di lautan.” (HR Ahmad, Al Bukhari, Muslim, An-Nasa’I dan Ibn Majah dari Abu Hurairah RA)
Nabi saw bersabda kepada Ummul Mukminin Juwairiyah RA, “Telah kukatakan empat perkataan sebanyak tiga kali setelah dirimu berdoa, bila kata-kata itu ditimbang dengan apa yang telah kau ucapkan maka dia akan seimbang, yaitu:
سبحان الله وبحمده عدد خلقه ورضاء نفسه وزنة عرشه ومداد كلماته
(HR Muslim dan Abu Dawud dari Juwairiyah RA)


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/06/20891/fadhilah-bertasbih/#ixzz1wvZghZwf

Copyright @ 2013 KAMMI AL-QASSAM LLG.