Selasa, 05 Maret 2013

Dari Dakwah Agama Hingga Memimpin Negara


Fase dakwah dan fase Negara masing-masing memiliki karakteristik dan fikih tersendiri. Dengan izin Allah Ta’ala, kita telah menyaksikan satu gerakan dakwah berhasil sampai ke istana negara. Namun, dakwah adalah tugas para pengikut Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sampai akhir zaman, karenanya ia tidak berhenti begitu aktivis berhasil memegang tampuk pemerintahan.  Tiba saatnya, dakwah yang dulunya berjalan sendiri, kini berdampingan dengan otoritas dan kekuatan untuk berpartisipasi dalam rekonstruksi dan pembangunan bangsa.
  • Plus 4.000 artikel Islami, 6.000 kitab, serta nasyid walimah & jihad.
    digitalhuda.com/?f1
  • Peluang Usaha Sambil Ibadah, Perwakilan Biro Umrah-Haji Plus dan Raih Reward Ratusan Juta Rupiah.
    www.rumahhajidanumrah.com
  • Pusat Belanja Buku Islam Online Lengkap Dan Murni.
    tokopedia.com/tokobukumuslim
  • Film Rasulullah Muhammad SAW, Umar bin Khattab, Nabi Yusuf, Konspirasi Dajjal Akhir Zaman.
    rubystore.wordpress.com/
Proses transisi dari dakwah kepada negara terjadi begitu cepat, bak perahu yang melaju kencang dihembus angin.  Laju yang terlalu cepat terkadang menghilangkan koherensi dan keseimbangan kita. Abdurrahman Ibn Auf radhiyallahu ‘anhu mengilustrasikan kondisi ini dalam ungkapannya: “Kami diuji dengan kesusahan tapi kami dapat bersabar, kemudian kami diuji dengan kesenangan, namun kami tidak dapat bersabar.”(1)
Selama berdakwah, biasanya ikatan batin seorang hamba kepada Rabb-nya sangatlah kuat. Kesadarannya cukup tinggi, dan selalu mengembalikan semua urusan kepada-Nya. Para da’i mempunyai aktivitas rutin du’at yang mulia, seperti belajar dan mengajar, memberi nasehat dan bimbingan kepada manusia. Berdiam diri di masjid, seraya memaksimalkan ibadah.  Hatinya lembut, dipenuhi rasa ukhuwah, dan cinta karena Allah.
Perjalanan dakwah semakin indah, manakala seorang hamba ditimpa musibah, yang membuatnya lebih tunduk dan merendah diri di hadapan Allah. Doa dari hati yang pedih dan jiwa penuh luka senantiasa terhatur  ke haribaan  Sang Pencipta. Sepertiga malam terakhir adalah momen terindah, yang sepi lagi syahdu, menambah  rasa tenang dan dekat kepada Allah Yang Maha Pengasih. Hingga luka dan pedih hati yang sudah mencapai puncaknya, terobati dengan munajat kepada-Nya. Seperti halnya yang terjadi pada saudara-saudara Nabi Yusuf alaihis salam, saat mereka meminta bantuan dengan penuh harap:
{مَسَّنَا وَأَهْلَنَا الضُّرُّ وَجِئْنَا بِبِضَاعَةٍ مُّزْجَاةٍ فَأَوْفِ لَنَا الْكَيْلَ وَتَصَدَّقْ عَلَيْنَا} [يوسف: ٨٨]
“Hai Al Aziz, kami dan keluarga kami ditimpa kesengsaraan, dan kami datang membawa barang-barang yang tak berharga, maka sempurnakanlah sukatan untuk kami, dan bersedekahlah kepada kami. “(QS. Yusuf: 88)
Inilah puncak ketergantungan kepada Allah. Maka Allah menurunkan penawar bagi mereka dengan hembusan rahmat-Nya dan keluasan maghfirah-Nya, sebab Allah Maha mengetahui apa yang menimpa mereka:
{وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ} [البروج: 9]
“ Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (QS. Al Buruj: 9)
Maka, Dia hapus segala luka dan duka mereka:
{فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ} [الفتح: 18]
“Maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka.” (QS. Al Fath: 18)
Allahu akbar. Alangkah indahnya saat-saat itu, momen pembersihan  hati dari segala keburukan dan kesusahan duniawi. Memutuskan semua hubungan kepada sesama makhluk, menuju ikatan erat kepada Allah yang Maha Esa dan Perkasa. Dan sungguh jauh perbedaan antara keduanya:
{مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِن رَّحْمَةٍ فَلا مُمْسِكَ لَهَا} [فاطر: ٢]
“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya.” (QS. Faathir: 2)
Anda dapat bayangkan proses transisi  dahsyat tersebut, yang  membawa seorang hamba ke suasana baru dengan nuansa berbeda. Hanya  manusia berjiwa besar dan mulialah  yang mampu bertahan di hadapannya. Yaitu  mereka yang jiwanya dekat  dan terikat dengan Dzat yang ada di langit, sementara jasadnya masih di dunia. Maka, ketika mereka sampai pada tampuk kekuasaan, jiwanya tetap kosisten dengan kondisi saat berdakwah yang pernah dihiasi berbagai musibah dan cobaan.
Lihatlah Umar Ibn Khattab radhiyallahu ‘anhu, saat ia berbicara menghardik dirinya: “Umar Ibn Khattab? Seorang Amirul mukminin? Demi Allah, kau harus taat kepada Allah, jika tidak, Allah pasti mengazabmu. Duhai, andai saja ibu Umar tidak melahirkan Umar.”
Beliau juga berkata: “Sungguh aku berharap keluar dari dunia dengan bersih, tanpa salah dan dosa.” (2)
Ketika ajal hampir menjemputnya, ia berkata kepada Abdullah putranya: “Letakkanlah wajahku di atas tanah…”, kemudian dia berkata: “Celakalah aku, jika Allah tidak mengampuniku.” (3)
Ketika Amirul Mukminin Ali ibn Abi Thalib berada di mihrabnya, dengan penuh gelisah sambil memegangi jenggotnya ia berkata: “Wahai dunia, godalah orang lain, apakah kau tidak puas menggangguku? Ketahuilah, aku telah ceraikan engkau tiga kali, dan takkan pernah rujuk lagi. Usiamu pendek, dan ancamanmu sangat hina.” (4)
Maslamah Ibn Abdul Malik bercerita, aku menemui Umar Ibn Abdul Aziz saat beliau sakit. Aku melihat pakaiannya kotor dan usang, maka aku berkata kepada Fathimah istrinya: “mengapa kalian tidak mencuci pakaian amirul mukminin?” Fathimah menjawab, “demi Allah, dia tidak punya pakaian selainnya.” Kemudian beliau menangis, dan Fathimah ikut menangis, lalu seluruh isi rumah ikut menangis. Setelah tangisnya berhenti, Fathimah bertanya, “apa gerangan yang membuat Anda menangis?”  Maka beliau menjawab, “aku mengingat saat manusia kelak berkumpul di hadapan Allah :
{فَرِيقٌ فِي الْـجَنَّةِ وَفَرِيقٌ فِي السَّعِيرِ} [الشورى: ٧]
“Segolongan masuk surga dan segolongan masuk neraka”. (QS. Asy Syura’: 7)
Dan aku tidak tahu, termasuk golongan yang manakah aku?” (5)
Inilah alumni madrasah nabawiyah, mereka dididik dan dibentuk di dalamnya. Madrasah yang mengajarkan ketergantungan pada akhirat dan menjauhi dunia. Mereka menempatkan dunia pada posisi sebenarnya, hingga saat sampai pada kekuasaan, jiwanya tetap bersih dan konsisten.
Umar telah menceritakan kepada kita, bagaimana Rasulullah mendidiknya agar jangan tergiur dengan kenikmatan dan perhiasan dunia. Beliau bercerita:
Suatu hari aku bertamu ke rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau sedang berbaring di atas tikar. Aku kemudian duduk, Rasulullah memperbaiki sarung beliau, dan hanya itu yang beliau kenakan. Aku melihat bekas tikar di lambung/rusuk beliau, tanpa sengaja aku melihat laci milik beliau, di dalamnya hanya terdapat segenggam gandum, dan ada sepotong kulit yang belum disamak tergantung di sudut rumah. Maka aku pun menangis, hingga mengundang tanya beliau, “Apa yang membuatmu menangis wahai Ibn Khattab?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, bagaimana aku tidak menangis, sedangkan aku melihat bekas tikar di punggungmu, dan kendi makananmu kosong. Sungguh Kisra (raja Persia.) dan Kaisar (raja Romawi) berada dalam kemegahannya, sementara engkau adalah utusan Allah.” Beliau menjawab, “Wahai Ibn Khattab, tidakkah engkau ridha mereka mendapatkan dunia sedangkan kita mendapatkan akhirat?” (6)
Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda: “Apakah engkau ditimpa keraguan wahai Umar? Mereka adalah kaum yang  seluruh kesenangannya disegerakan di dunia.”  Dan Rasulullah wafat, sementara baju besinya tergadai pada seorang Yahudi.
Semua itu adalah isyarat bagi para da’i, manakala mereka memegang wewenang mengatur negara. Seakan berpesan: Ketahuilah, kalian tidak akan berhasil hingga kalian tetap mengingat Allah dan konsisten di atas syari’at-Nya dalam setiap aktivitas. Bergantunglah dan bertakwalah kepada Allah dalam diri dan semua urusanmu.  Hendaklah hatimu hidup untuk akhirat, meski jasadmu hidup di dunia, dan janganlah kalian lupakan ayat ini:
{عَسَى رَبُّكُمْ أَن يُهْلِكَ عَدُوَّكُمْ وَيَسْتَخْلِفَكُمْ فِي الأَرْضِ فَيَنظُرَ كَيْفَ تَعْمَلُونَ} [الأعراف: 1٢9]
“Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khafilah di bumi(Nya), maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu.” (QS. Al A’raf:129)
Ya, niscaya Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu!

Ketika Ujian Datang


Dalam kehidupan di dunia ini memang setiap orang diberikan sebuah ujian. Ujian setiap orang tidak selalu sama dengan ujian yang diberikan kepada sahabat dekat kita, pasti ujian yang Allah berikan itu berbeda-beda karena Allah sudah mampu melihat batas kemampuan diri kita masing-masing. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana cara kita dalam menyikapi ujian itu, baik ujian yang kecil ataupun besar, ujian yang bersifat bahagia ataupun sedih. Dan pastinya setiap ujian yang datang kepada kita harus kita atasi dengan sikap sabar. Dan menurut Allah SWT ujian itu dikelompokkan menjadi dua yaitu ujian kebahagiaan dan ujian kesedihan.
Tapi terkadang ujian kebahagiaan itu kita selalu melupakan Allah atas nikmat-nikmat yang sudah Allah berikan kepada kita, contoh sederhananya adalah kesehatan kita, terkadang kita sering tidak bersyukur dengan kondisi yang sehat ini dengan upaya kita yang masih bermalas-malasan dalam beribadah misalnya. Dan ujian kesedihan itu terkadang mendekati kita pada kesulitan yang sering kita hadapi. Namun kita sebagai umat Islam mestinya untuk tetap selalu survive dengan ujian tadi baik bahagia atau sedih, dan lengkapi dengan rasa sabar karena dengan sabar Allah selalu memudahkan hambaNya.
Dengan segala firmanNya yang Maha Benar. Allah memberikan suatu keterangan bahwa di dalam ujian atau kesulitan yang kita hadapi itu pasti Allah akan memudahkan. Dapat di lihat dalam surah Al-Insyirah ayat 5-6 “ Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan,” Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan” dan surah Al-Insyirah ayat 8 “ dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap”. Maka yakinlah kita pada Allah bahwa setiap ujian di dunia ini pasti ada jalan keluarnyaJadi buat apa kita galau, sedih, kecewa, toh semua ujian itu berawal dari Allah dan semestinya kita pun kembalikan segala urusan dan ujian kita kepada Allah saja. Karena Allah juga akan memudahkan semua perkaranya.
Mungkin dalam hidup kita pernah bertanya seperti ini:
Manusia bertanya: “Kenapa aku diuji?”
Al-Quran pun menjawab: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami Telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. Al-Ankabuut: 2). “Dan Sesungguhnya kami Telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta” (QS. Al-Ankabuut: 3).
Manusia bertanya lagi: ”Kenapa aku tidak diuji saja dengan hal-hal yang baik?”
Al-Quran menjawab:“…boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216).
Manusia bertanya:“Kenapa aku diberi ujian seberat ini?”
Al-Quran menjawab: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…”(QS. Al-Baqarah: 286)
Manusia bertanya:“Bolehkah aku frustrasi?”
Al-Quran menjawab: “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling Tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imraan: 139)
Manusia bertanya: ”Bolehkah aku berputus asa?”
Al-Quran menjawab: “…dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS. Yusuf: 87)
Manusia bertanya: “Bagaimana cara menghadapi ujian hidup ini?”
Al-Quran menjawab: “Hai orang-orang yang beriman, Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS. Ali Imraan : 200) “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (QS Al-Baqarah: 45)
Manusia Bertanya:“Bagaimana menguatkan hatiku?”
Al-Quran Menjawab:  “…Cukuplah Allah bagiKu; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya Aku bertawakkal...” (QS Taubah: 129)
Manusia bertanya: ”Apa yang kudapat dari semua ujian ini?”
Al-Quran menjawab:  ”Sesungguhnya Allah Telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka...” (QS. At-Taubah: 111)
Dan kalau kita perhatikan pada saat mentadabburi Al-Qur’an yang merupakan pedoman hidup kita bahwa banyak sekali ayat-ayat Allah yang menjelaskan dan memperintahkan kita tentunya untuk selalu BERSABAR. Jadi intinya kawan, setiap ujian hidup yang kita hadapi atau alami, harus dilakukan dengan sikap rasa bersabar dan tenang. Oya sebagaimana sabda Nabi SAW mengatakan juga bahwa:
“Menakjubkan urusan seorang mu’min, jika ia mendapatkan nikmat maka ia bersyukur dan syukur itu sangat baik baginya. Dan jika ia ditimpa musibah maka ia bersabar dan sabar itu sangat baik baginya“. (HR. Muslim & Tirmidzi)
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk saya pribadi dan berusaha untuk tetap sabar dalam menyikapi sebuah ujian hidup ini dan juga pembaca semoga diberikan pencerahan dan motivasi dalam menyikapi ujian hidupnya masing-masing. Semangat!!


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/02/28199/ketika-ujian-datang/#ixzz2MipXqVtO 
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Ketenangan


Kalaulah jalannya begitu panjang, tak akan ada yang mampu menempuhnya kecuali bagi orang yang berani. Bagi mereka jauhnya perjalanan bukanlah masalah selagi keberanian masih terus terhujam dalam hatinya. Seperti ungkapan bung Anis Matta, keberanian adalah semangat ekspansi bagi para pejuang. Jika keberanian adalah denyut nadi perjuangan maka kesabaran adalah nafasnya. Karena kesabaran merupakan faktor penentu seberapa lama pejuang itu mampu bertahan dalam perjuangannya. Lain halnya dengan keberanian, kesabaran adalah sikap defensif atau bertahan bagi pejuang untuk bisa menghadapi tantangan demi tantangan sebuah perjalanan.
Namun, antara keberanian dan kesabaran ada satu celah besar yang mesti ada untuk menghubungkannya. Keinginan untuk terus berjuang sampai pada penghujung jalan dan kesadaran untuk bertahan menghadapi segala tantangan mesti dihubungkan dengan yang namanya ketenangan. Karena ketenangan adalah suasana penyeimbang antara keinginan untuk meraih mimpi dengan sulitnya realita yang dihadapi.
Tentu tidak masalah bagi pejuang, jika dalam perjalanan itu belum ditemui aral yang merintang. Yang jadi permasalahan adalah ketika pejuang itu dituntut untuk bersabar menghadapi tekanan hidup. Suasana bertahan seperti ini adalah suasana yang sangat sulit untuk kembali bangkit meraih sifat keberanian yang sudah ada dalam dirinya. Suasana di mana butuh waktu yang lama untuk memulihkan semangat. Kadang, ada saja riak-riak kecil yang menerpa menghentikan langkah yang sudah jauh dijajaki. Nah di sinilah ketenangan ini menjadi solusinya.
Ketenangan adalah kondisi di mana seseorang mampu menyegarkan kembali impian dan cita-cita yang menjadi tujuan. Mereka yang tidak tenang cenderung melupakan segala impian yang menggerakkan naluri keberanian. Maka dengan ketenanganlah seseorang cenderung bisa berbuat lebih detail, terarah, lebih seimbang dan lebih dekat kepada suasana spiritual dan keterburu-buruan malah merusaknya. Benarlah ungkapan yang sering kita dengar bahwa “keterburu-buruan itu perbuatan syaitan”.
Sikap tenang bukan berarti diam dan tak berbuat apa-apa. Seperti yang terucap oleh tokoh dalam film the karate kid “Bersikap tenang dan tidak melakukan apa-apa adalah dua hal yang berbeda”. Inilah kenapa ketenangan itu dibutuhkan dalam perjuangan, karena tenang adalah suasana bertahan namun masih tetap bergerak. Sikap tenang juga akan mengundang suasana ketenangan selanjutnya yang merupakan anugerah dari sang pencipta, karena dekatnya suasana spiritual pada kondisi seperti ini. Mereka yang tenang itu karena mereka mengingat penciptanya yang maha kuasa dan mengadukan segala kelemahannya. Ketika kondisi ini muncul, maka tidak ada yang tidak mungkin bagi sang pencipta dan itulah kondisi bagi pejuang untuk kembali bersemangat meraih impiannya dengan penuh keberanian.
“Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). (S Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).” (QS. Al-Fath: 4)


Copyright @ 2013 KAMMI AL-QASSAM LLG.