Selasa, 19 Februari 2013

Dari Gerakan Ke Negara


Dari Gerakan Ke Negara
.   
Rencana itu terlalu halus untuk dideteksi secara dini oleh para pemimpin musyrik Quraisy.Tiba-tiba saja Makkah terasa lengang dan sunyi. Ada banyak wajah yang terasa perlahan-lahan enghilang dari lingkungan pergaulan. Tapi tidak ada berita. Tidak ada yang tahu secara pasti apa yang sedang terjadi dalam komunitas Muslim di bawah pimpinan Rasulullah SAW. Ini memang bukan rencana yang bisa dirahasiakan dalam waktu lama. Orang-orang musyrik Makkah akhirya memang mengetahui bahwa kaum Muslimin telah berhijrah ke Madinah. Tapi setelah proses hijrah hampir selesai.
Maka gemparlah penduduk Makkah. Tapi. Sebuah episode baru dalam sejarah telah dimulai: sebuah gerakan telah berkembang menjadi sebuah negara, dan sebuah negara telah bergerak menuju peradabannya; sebuah agama telah menemukan “orang-orangnya”, setelah itu mereka akan menancapkan “bangunan peradaban” mereka.
Tanah, dalam agama ini, adalah persoalan kedua. Sebab yang berpijak di atas tanah adalah manusia maka di sanalah Islam pertama kali menyemaikan dirinya; dalam ruang pikiran, ruang jiwa, dan ruang gerak manusia. Tanah hanya akan menjadi penting ketika komunitas “manusia baru” telah terbentuk dan mereka membutuhkan wilayah teritorial untuk bergerak secara kolektif, legal, dan diakui sebagai sebuah entitas politik.
Karena tanah hanya merupakan persoalan kedua maka tidaklah heran bila pilihan daerah tempat hijrah diperluas oleh rasulullah SAW. Dua kali sebelumnya, kaum Musimin, dalam jumlah yang lebih kecil, berhijrah ke Habasyah (Ethiopia), baru kemudian berhijrah keseluruhan ke Madinah. Tapi, ketika kaum Muslimin sudah berhijrah seluruhnya ke madinah, mereka yang sebelumnya telah berhijrah ke Habasyah tidak serta merta dipanggil oleh Rasulullah SAW. Mereka baru menyusul ke Madinah lima atau enam tahun kemudian.
Ketika mereka tiba di Madinah, di bawah pimpinan Ja’far bin Abi Thalib, kaum Muslimin baru saja memenangkan perang Khaibar, sebuah peperangan yang sebenarnya mirip dengan sebuah pengusiran, menyusul pengkhianatan kaum Yahudi dalam perang Khandaq. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah SAW bersabda, “Aku tidak tahu dengan apa aku digembirakan oleh Allah; apakah dengan kemenangan dalam perang Khaibar atau dengan kedatangan Ja’far?”
Dari Gerakan Ke Negara
Hijrah, dalam sejarah dakwah Rasulullah SAW adalah sebuah metamorfosis dari “gerakan” menjadi negara. Tiga belas tahun sebelumnya, Rasulullah SAW melakukan penetrasi sosial yang sangat sistematis, di mana Islam menjadi jalan hidup individu; di mana Islam “memanusia” dan kemudian “memasyarakat”. Sekarang, melalui hijrah, masyarakat itu bergerak linear menuju negara. Melalui hijrah, gerakan itu “menegara”, dan Madinah adalah wilayahnya.
Kalau individu membutuhkan aqidah maka negara membutuhkan perangkat sistem. Setelah komunitas Muslim menegara, dan mereka memilih Madinah sebagai wilayahnya, Allah SWT menurunkan perangkat sistem yang mereka butuhkan. Turunlah ayat-ayat hukum dan berbagai kode etik sosial, ekonomi, politik, keamanan dan lain-lain. Lengkaplah sudah susunan kandungan sebuah negara: manusia, tanah, dan sistem.
Apa yang kemudian dilakukan Rasulullah SAW sebenarnya relatif mirip dengan semua yang mungkin dilakukan para pemimpin politik yang baru mendirikan negara. Pertama, membangun infrastruktut negara dengan masjid sebagai simbol dan perangkat utamanya. Kedua, menciptakan kohesi sosial melalui proses persaudaraan antarkomunitas darah yang berbeda tapi menyatu sebagai komunitas agama, antara sebagian komunitas “Quraisy” dan “Yatsrib” menjadi komunitas “Muhajirin” dan “Anshar”. Ketiga, membuat nota kesepakatan untuk hidup bersama dengan komunitas lain yang berbeda, sebagai sebuah masyarakat pluralistik yang mendiami wilayah yang sama, melalui piagam Madinah. Keempat, merancang sistem pertahanan negara melalui konsep Jihad fi Sabilillah.
Lima tahun pertama setelah hijrah kehidupan dipenuhi oleh kerja keras Rasulullah SAW beserta para shahabat beliau untuk mempertahankan eksistensi dan kelangsungan hidup negara Madinah. Dalam kurun waktu itu, Rasulullah SAW telah melakukan lebih dari 40 kali peperangan dalam berbagai skala. Yang terbesar dari semua peperangan itu adalah perang Khandaq, di mana kaum Muslimin keluar sebagai pemenang. Setelah itu tidak ada lagi yang terjadi di sekitar Madinah karena semua peperangan sudah bersifat ekspansif. Negara Madinah membuktikan kekuatan dan kemandiriannya, eksistensinya, dan kelangsungannya. Di sini, kaum Muslimin telah membuktikan kekuatannya, setelah sebelumnya kaum Muslimin membuktikan kebenarannya.
Jadi, yang dilakukan oleh Rasulullah SAW pada tahapan ini adalah menegakkan negara. Sebagai sebuah bangunan, negara membutuhkan dua bahan dasar: manusia dan sistem. Manusialah yang akan mengisi suprastruktur. Sedangkan sistem adalah perangkat lunak, sesuatu dengan apa negara bekerja.
Islam adalah sistem itu. Oleh karena itu Islam bersifat given. Tapi, manusia adalah sesuatu yang dikelola dan dibelajarkan sedemikian rupa hingga sistem terbangun dalam dirinya, sebelum kemudian mengoperasikan negara dalam sistem tersebut. Untuk itulah Rasulullah SAW memilih manusia-manusia terbaik yang akan mengoperasikan negara itu.
Selain kedua bahan dasar negara itu, juga perlu ada bahan pendukung lainnya. Pertama, tanah. Tidak ada negara tanpa tanah. Tapi, dalam Islam, hal tersebut merupakan infrastruktur pendukung yang bersifat sekunder sebab tanah merupakan benda netral, yang akan mempunyai makna ketika benda tersebut dihuni oleh manusia dengan cara hidup tertentu. Selain berfungsi sebagai ruang hidup, tanah juga merupakan tempat Allah menitip sebagian kekayaan-Nya yang menjadi sumber daya kehidupan manusia.
Kedua, jaringan sosial. Manusia sebagai individu hanya mempunyai efektifitas ketika ia terhubung dengan individu lainnya secara fungsional dalam suatu arah yang sama.
Itulah perangkat utama yang diberikan untuk menegakkan negara; sistem, manusia, tanah, dan jaringan sosial. Apabila ke dalam unsur-unsur utama itu kita masukkan unsur ilmu pengetahuan dan unsur kepemimpinan maka keempat unsur utama tersebut akan bersinergi dan tumbuh secara lebih cepat. Walaupun, secara implisit, sebenarnya unsur ilmu pengetahuan sudah masuk ke dalam sistem dan unsur kepemimpinan sudah masuk ke dalam unsur manusia.
Itulah semua yang dilakukan oleh Rasulullah SAW selama tiga belas tahun berdakwah dan membina sahabat-sahabatnya di Makkah; menyiapkan semua perangkat yang diperlukan dalam mendirikan sebuah negara yang kuat. Hasil dakwah dan pembinaan itulah yang kemudian tumpah ruah di Madinah dan mengkristal secara sangat cepat.
Begitulah transformasi itu terjadi. Ketika gerakan dakwah menemui kematangannya, ia menjelma jadi negara; ketika semua persyaratan dari sebuah negara kuat telah terpenuhi, negara itu tegak di atas bumi, tidak peduli di belahan bumu manapun ia tegak. Proses transformasi ini memang terjadi sangat cepat dan dalam skala yang sangat besar. Tapi, proses ini sekaligus mengajari kita dua hakikat besar: pertama, tentang hakikat dan tujuan dakwah serta strategi perubahan sosial. Kedua, tentang hakikat negara dan fungsinya.
Perubahan Sosial
Tujuan dakwah adalah mengejawantahkan kehendak-kehendak Allah SWT –yang kemudian kita sebut agama, tau syariah- dalam kehidupan manusia. Syariah itu sesungguhnya merupakan sistem kehidupan yang integral, sempurna, dan universal. Karena manusia yang akan melaksanakan dan mengoperasikan sistem tersebut maka manusia harus disiapkan untuk peran itu. Secara struktural, unit terkecil yang ada dalam masyarakat manusia adalah individu. Itulah sebabnya, perubahan sosial harus dimulai dari sana; membangun ulang susunan keribadian individu, mulai dari cara berpikir hingga cara berperilaku. Setelah itu, individu-individu itu harus dihubungkan satu sama lain dalam suatu jaringan yang baru, dengan dasar ikatan kebersamaan yang baru, identitas kolektif yang baru, sistem distribusi sosial ekonomi politik yang juga baru.
Begitulah Rasulullah SAW memulai pekerjaannya. Beliau melakukan penetrasi ke dalam masyarakat Quraisy dan merekrut orang-orang terbaik di antara mereka. Menjelang hijrah ke Madinah, beliau juga merekrut orang-orang terbaik dari penduduk Yatsrib. Maka terbentuklah sebuah komunitas baru di mana Islam menjadi basis identitas mereka, aqidah menjadi dasar ikatan kebersamaan mereka, ukhuwah menjadi sistem jaringan mereka, dan keadilan menjadi prinsip dstribusi sosial-ekonomi-politik mereka. Tapi, perubahan itu bermula dari sana; dari dalam individu, dari dalam pikiran, jiwa dan raganya.
Model perubahan sosial seperti itu mempunyai landasan pada sifat natural manusia, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Perubahan mendasar akan terjadi dalam diri individu jika ada perubahan mendasar pada pola pikirnya karena pikiran adalah akar perilaku. Masyarakat juga begitu. Ia akan berubah secara mendasar jika individu-individu dalam masyarakat itu berubah dalam jumlah yang relatif memadai. Tapi, model perubahan ini selalu gradual dan bertahap. Prosesnya lebih cenderung evolusioner, tapi dampaknya selalu bersifat revolusioner. Inilah makna firman Allah SWT “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’d:11)
Fungsi Negara
Dalam konsep politik Islam, syariat atau kemudian kita sebut sistem atau hukum, adalah sesuatu yang sudah ada, given. Negara adalah institusi yang diperlukan untuk menerapkan sistem tersebut. Inilah perbedaan mendasar dengan negara sekuler, di mana sistem atau hukum mereka adalah hasil dari produk kesepakatan bersama karena hal tersebut sebelumnya tidak ada.
Sebagai institusi, bentuk negara selalu berubah mengikuti perubahan-perubahan struktur sosial dan budaya masyarakat manusia. Dari bentuk negara kerajaan, parlementer, hingga presidensiil. Skala negara juga berubah mengikuti perubahan struktur kekuatan antarnegara, dari imperium besar ke negara bangsa, dan barangkali, yang sekarang jadi mimpi pemerintahan George W. Bush junior di Amerika: negara dunia atau global state. Struktur etnis dan agama dalam sebuah negara juga bisa tunggal dan majemuk.
Oleh karena itu semua merupakan variabel yang terus berubah, dinamis, dan tidak statis, maka Islam tidak membuat batasan tertentu tentang negara. Bentuk boleh berubah, tapi fungsinya tetap sama; institusi yang mewadahi penerapan syariat Allah SWT. Itulah sebabnya bentuk negara dan pemerintahan dalam sejarah Islam telah mengalami berbagai perubahan; dari sistem khilafah ke kerajaan dan sekarang berbentuk negara bangsa dengan sistem yang beragam dari monarki, presidensiil, dan parlementer. Walaupun tentu saja ada bentuk yang lebih efektif menjalankan peran dan fungsi tersebut, yaitu sistem khilafah yang sebenarnya lebih mirip dengan konsep global state. Tapi, efektifitasnya tidaklah ditentukan semata oleh bentuk dan sistem pemerintahannya, tapi terutama oleh suprastrukturnya, yaitu manusia.
Namun demikian, kita akan melakukan kesalahan besar kalau kita menyederhanakan makna negara Islam dengan membatasinya hanya dengan pelaksanaan hukum, pidana dan perdata, serta etika sosial politik lainnya. Persepsi ini yang membuat negara Islam lebih berciri moral ketimbang ciri lainnya. Yang perlu ditegaskan adalah bahwa syariat Allah itu bertujuan memberikan kebahagiaan kepada manusia secara sepurna; tujuan hidup yang jelas, yaitu ibadah untuk mendapatkan ridha Allah SWT serta rasa aman dan kesejahteraan hidup.
Hukum-hukum Islam dalam bidang pidana dan perdata sebenarnya merupakan sub-sistem. Tapi, dampak penerapan syariah tersebut pada penciptaan keamanan dan kesejahteraan hanya dapat muncul di bawah sebuah pemerintahan yang kuat. Hal itu bertumpu pada manusia. Hanya “orang kuat yang baik” yang bisa memberikan keadilan dan menciptakan kesejahteraan, bukan orang yang baik. Bagaimanapun, hanya orang kuat dan baik yang dapat menerapkan sistem Allah secara sempurna. Inilah makna hadits Rasulullah SAW “laki-laki mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada laki-laki mukmin yang lemah.”
Alangkah dalamnya penghayatan Umar bin Khattab tentang masalah ini ketika berdoa, “Ya Allah lindungilah kami dari orang yang bertaqwa yang lemah dan tidak bertaqwa yang lemah dan tidak berdaya, dan lindungilah kami dari orang-orang jahat yang perkasa dan tangguh.” Inilah sesungguhnya misi gerakan Islam: melahirkan orang-orang baik yang kuat atau orang-orang kuat yang baik. [Anis Matta]




dakwatuna.com - Setiap manusia pasti senang jika dirinya dipuji. Baik karena parasnya yang menawan, prestasinya yang gemilang, atau perilakunya yang dermawan. Tak ada yang marah saat pujian datang, bahkan ia akan terngiang dan membuat hati setiap orang menjadi senang. Saat berinteraksi dengan orang lain, tak terbatas pada pujian saja, kita juga harus bisa menjaga etika dan adab agar lawan bicara nyaman dengan kita. Begitu juga dengan Allah. Allah senang jika Ia dipuji. Pun etika dan adab saat berinteraksi denganNya melalui doa, harus dijaga dan diperhatikan. Jika kita bisa memenuhi adab dan etika ini, insya Allah kita akan memperoleh apa yang kita minta.
Pertama, orang-orang shalih terdahulu, sebelum berdoa biasanya melakukan sejumlah aktivitas. Mereka bersuci dan berwudhu’, shalat sunnah, dan berdoa dengan penuh ketundukan dan kesungguhan. Tidak jarang air mata mereka menitik saat lantunan doa-doa mulai dipanjatkan. Selanjutnya, mereka memuji Allah, mengagungkanNya, meng-EsakanNya, lalu memulai munajat mereka. Seperti yang dilakukan Nabiyullah Ibrahim AS saat berdoa kepada Tuhannya.
“Tuhan yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku. Dan Tuhanku, yang Dia memberi makan dan minum kepadaku. Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku. Dan yang mematikan aku, kemudian menghidupkan aku (kembali). Dan yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat” (Q.S Asy-Syu’ara:78-82)
Ibrahim memulai dengan lima pujian, dan kemudian melanjutkan dengan munajatnya.
(Ibrahim berdoa): “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh. Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang yang datang kemudian. Dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mempusakai surga yang penuh kenikmatan. Dan ampunilah bapakku, karena sesungguhnya ia adalah termasuk orang-orang yang sesat. Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan.” (Q.S Asy-Syu’ara: 83-87).
Maka Allah mengabulkan hajatnya.
Kedua, ciptakan suasana hati yang damai, tenang, ikhlas, tunduk, dan khusyu’ saat mengucapkan doa kepada Allah.
“…Sesungguhnya mereka adalah orang yang bersegera dalam kebaikan dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (Q.S Al-Anbiya: 90)
Ketiga, pintalah dengan serius dan sungguh-sungguh. Jangan berdoa seperti dengan mengucapkan “Jika Engkau berkehendak memberi maka berikanlah…”  Rasulullah dalam sabdanya, “Janganlah orang yang berdoa dalam doanya, “Ya Allah rahmatilah aku jika Engkau berkehendak…” tapi hendaklah ia benar-benar serius dalam permintaannya karena Allah tidak membenci (dalam memberi).” (HR. Bukhari Muslim)
Keempat, jangan pernah lelah memohon dan jangan putus asa meminta kepada Allah. Andai doa itu lambat dikabulkan, jangan sampai ia mempengaruhi intensitas doa kita kepada Allah. Berhusnudzan kepada Allah lebih baik karena bisa jadi Allah sedang mempersiapkan sesuatu yang lebih baik dari yang kita minta.
Kelima, jangan lupa sertakan orang lain dalam doa-doa kita selain orangtua dan keluarga kita. Orang yang mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakannya, niscaya akan dilimpahkan kepadanya apa yang didoakannya untuk saudaranya itu.
Keenam, mulailah dengan mentauhidkan Allah sebagaimana Nabi Yunus dalam doanya:
“…maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zhalim” (Q.S Al-Anbiya’: 87)
Ketujuh, rendahkan suara sampai tak didengar kecuali antara diri sendiri dan Allah.
Kedelapan, saat meminta sesuatu kepada Allah, bersikaplah dengan merendah dan tenang. Lepaskan semua ke’aku’an, lucuti semua kemampuan, serahkanlah segalanya kepada Allah. Tunduk dan luruh di hadapan Allah.
Kesembilan, ambillah posisi yang sangat baik dalam berdoa. Seperti dalam kondisi duduk, menghadap kiblat, khusyu’, tenang, menundukkan kepala.
Kesepuluh, meminta dengan berulang-ulang. Ada sebuah riwayat hadits dari Anas bin Malik yang menyebutkan, ada seorang pemuda yang meminta kepada Rasulullah untuk didoakan agar turun hujan. Lalu Rasulullah berdoa, “Ya Allah, turunkanlah hujan untuk kami…3x”. Lalu, hujan pun turun hingga satu pekan. Lalu, pada pekan berikutnya, saat Rasulullah berkhutbah pada hari Jumat, orang itu berdiri di hadapan Rasulullah. Ia mengatakan bahwa hujan yang turun hampir sepekan telah melenyapkan barang-barang mereka. Kemudian Rasulullah berdoa lagi, “Ya Allah berilah keberkahan kepada kami melalui hujan dan bukan musibah…” Tidak lama setelah itu, hujan pun berhenti dan kami berjalan di bawah sinar matahari. (H.R Bukhari dan Muslim secara ringkas)
Kesebelas, mengangkat dua tangan dan menghadap kiblat. Hal ini dilakukan Rasulullah dalam banyak peristiwa. Antara lain, perkataan Abi Musa Al Asy’ari yang meriwayatkan saat Rasulullah usai berwudhu dan berdoa, Rasul mengangkat tangan hingga terlihat putih ketiaknya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Begitulah para sahabat dan orang-orang shalih terdahulu menjaga interaksinya dengan TuhanNya. Selayaknya, merekalah teladan bagi kita. Sudahkah kita menjaga adab dan etika terhadapNya? Selamat mengamalkan…. Semoga bermanfaat…
Tika Mindari

Tentang Tika Mindari

Mahasiswi S1 Pendidikan Matematika Universitas Negeri Medan. Aktif sebagai Staf Kaderisasi di KAMMI,


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/02/27887/memujilah-sebelum-meminta/#ixzz2LOgKVNai

Sakitkah Jiwa Anda?


Sakitkah Jiwa Anda?

Membaca judul di atas, kening Anda mungkin langsung berkerut, bergidik sambil mengelus dada, “Sakit jiwa? Idih, amit-amit!”
Apa sih “sakit jiwa” itu? Apakah istilah itu hanya layak dilekatkan pada orang “hilang ingatan”, yang suka tertawa atau bicara sendirian sambil berkeliaran di jalan-jalan ? Eits, jangan salah! Perlu Anda ketahui, ketika Anda sering mengeluh tentang hal-hal yang sepele saja, sebenarnya itu adalah salah satu gejala “jiwa yang sakit”.
Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat?

Kita semua tentu pernah merasakan sakit fisik, baik yang kelas ringan maupun kelas berat. Bagaimana kita menyikapi sakit tersebut, itu adalah cerminan dari kesehatan jiwa kita. Jika baru meriang sedikit saja kita sudah mengeluh ke sana-kemari seperti sedang sakit parah, maka ada yang tidak beres dengan jiwa kita.
Syekh Ahmad Yasin adalah seorang tokoh pemimpin rakyat Palestina melawan penjajah Zionis Israel. Dia adalah seorang tua renta yang lumpuh, sehingga ke mana-mana harus selalu dengan kursi roda. Subhanallah, dengan keterbatasan fisik yang sedemikian parah, dia masih sanggup memimpin rakyat Palestina berjihad, bahkan menjadi tokoh yang paling ditakuti musuh.
Satu bukti nyata, kekuatan jiwa mampu mengalahkan kelemahan fisik! Tak dapat disangkal lagi, kesehatan jiwa sesungguhnya jauh lebih penting ketimbang kesehatan fisik. Fisik kita boleh sakit, tapi jangan sampai jiwa kita sakit! Kisah nyata Syekh Ahmad Yasin juga mematahkan semboyan “Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat”.
Jiwa Sehat vs “Jiwa Sakit”
Jiwa yang sehat dan kuat hanya kita dapat jika kita dekat dengan Allah. Ini terkait erat dengan dua hal yang memengaruhi jiwa manusia, yakni nafsu dan ruh.
Setiap manusia memiliki fitrah untuk menjadi baik, sehingga lahirlah ketakwaan kepada Allah. Pada dasarnya, fitrah untuk menjadi baik itulah yang mendominasi jiwa kita. Namun dalam perjalanan kehidupan, kita kerap dibenturkan oleh berbagai hal yang membuat kita jauh dari fitrah kebaikan. Tak heran jika kita mendapati saudara-saudara kita atau mungkin diri kita sendiri kerap berbuat kemaksiatan.
Jika fitrah seorang manusia adalah baik, lantas salah siapa jika dia sampai berbuat jahat? Sesungguhnya, Allah selalu menghadapkan kita pada dua persimpangan jalan, yakni jalan kebaikan dan jalan kejahatan (QS. As-Syams:7-10). Saat kita berbuat dosa, fitrah kita tengah terjebak oleh benda bernama nafsu, sehingga jalan kejahatanlah yang kita pilih.
Jiwa Manusia
Untuk kembali kepada fitrah sebagai manusia yang baik, kita perlu melakukan berbagai upaya penyucian jiwa. Sebelumnya, pahami dulu keadaan jiwa kita.
Secara garis besar, ada tiga keadaan jiwa manusia:
  1. Keadaan jiwa yang dapat mengendalikan hawa nafsu.
    Ruh lebih kuat daripada nafsu. Orang yang keadaan jiwanya seperti ini, orientasi hidupnya adalah zikir kepada Allah swt. Maka ia akan selalu terdorong untuk berbuat yang baik-baik saja. Hasilnya: jiwa yang tenang (nafsun muthmainnah). Ingin menjadi orang yang seperti ini? Rajin-rajinlah menyantap “makanan ruh”: tilawah, sholat, zikir, berucap kata-kata yang baik (thoyyib).
  2. Keadaan jiwa yang hanya menjaga keseimbangan antara ruh dan nafsu.
    Orang yang keadaan jiwanya seperti ini, orientasinya hanya kepada akal/logika. Ia kerap merasa ragu antara menjaga kesholehan diri dengan berbuat kemaksiatan. Ia bisa mengendalikan nafsunya hanya di saat-saat tertentu saja. Hasilnya: nafsul lawwamah (jiwa yang selalu menyesali diri). Menurut Rasulullah saw, perumpamaan orang semacam ini adalah ibarat domba yang tersesat di antara dua ekor kambing. Ia adalah “golongan tengah” yang bisa juga disebut orang munafik.
    “Dan aku bersumpah demi jiwa yang selalu menyesali (dirinya sendiri)” (QS. Al-Qiyamah [75]: 2)
  3. Keadaan jiwa yang tidak dapat mengendalikan nafsu.
    Nafsunya lebih kuat daripada ruhnya. Orientasinya hanya syahwat belaka, keinginan bersenang-senang saja. Ia adalah orang yang selalu terjebak dalam nafsul ammarah. Ia yang selalu terpedaya oleh tipu daya setan, bahwa surga itu dikelilingi oleh hal-hal yang tak disukai manusia, dan sebaliknya neraka dikelilingi hal-hal yang disukai manusia. Naudzubillah min dzalik.
Termasuk jiwa yang manakah Anda? Mari sucikan jiwa kita, agar selalu terjaga dan menjadi nafsun muthmainnah (jiwa yang tenang).
“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al Fajr [89]:27-30)
Wallahua’lam bisshowwab.
Oleh: Elka Ferani

Senin, 18 Februari 2013

Panduan Pelaksanaan Dauroh Ijtima’i 1 Manhaj 1427 H



Panduan Pelaksanaan Dauroh Ijtima’i 1
Manhaj 1427 H

1.    Output
Terbangunnya Sensitivitas Sosial Kader

2.    Materi dan Metode
No
Materi
Fokus Materi
Metode Pembelajaran
1
Da’wah Syabi’ah
n  Urgensi, Prinsip & langkah-langkah da’wah Syabi’ah
Ceramah dan diskusi
2
Analisis Realitas Masyarakat
n  Aspek Ekonomi, Sosial, Budaya, Kesehatan, Pendidikan, dan Agama
Observasi dan Diskusi
3
Perilaku Masyarakat & lingkungan sosial
n  Mengetahui teori-teori dan bentuk-bentuk perilaku masy. & memahami metode pendekatan
Ceramah, Observasi dan Diskusi
4
Metode pendekatan kepada Masyarakat
n  Bentuk-bentuk pendekatan pd Masy.Mapping kebutuhan dan strategi mendekati masy.
Ceramah dan Simulasi
5
Mengenal Organisasi Volunteer
n  Definisi Volunteer
n  Ciri-ciri Organisasi Volunteer
n  Produk Organisasi Volunteer: Ide dan jaringan
Ceramah


Panduan Pelaksanaan Dauroh Qur’an
Manhaj 1427 H

1.    Tujuan Umum
AB 1 paham bahwa fikroh KAMMI adalah Al Qur’an.

2.    Tujuan Khusus
·         AB 1 memiliki motivasi tinggi untuk gemar bertilawah (bersemangat untuk bisa).
·         AB 1 memiliki motivasi untuk menjadikan AL Qur’an sebagai kekayaan hati, sehingga rajin menghafal sesuai kemampuan.
·         AB 1 termotivasi untuk selalu AL Qur’an mainded dalam segala amalan.
3.    SUSUNAN ACARA
·         Daftar ulang
·         Pembukaan  (Basmalah, tilawah, sambutan ketua panitia, ketua komsat, ketua Departemen Kaderisasi KAMMDA/ Ketua KAMMDA Semarang, hamdalah)
·         Materi I “Mengenal Lebih Jauh tentang Qur’an”
·         Istirahat
·         Materi II “Akhlaq terhadap Qur’an”
·         Istirahat (Sholat Dzuhur, makan)
·         Materi III “Ilmu Tafsir”
·         Istirahat (Sholat Ashar)
·         Materi III - lanjutan “Ilmu Tafsir”
·         Istirahat (Sholat Maghrib, makan, tilawah, sholat Isya’)
·         Tasmi’ Qur’an
·         Istirahat (Tidur, Qiyamul lail, Sholat Shubuh, Tilawah, dzikir )
·         Materi IV “Menghapal Qur’an”
·         MCK, Sholat Dhuha
·         Materi V “Membaca Qur’an dengan Benar”
·         Penutupan (Basmalah,tilawah, sambutan-sambutan, kesan-pesan, do’a, hamdalah dan kafaratul majelis)

2.    WAKTU
Di tengah berlangsungnya Madrasah KAMMI. Kurang lebih tiga atau empat bulan setelah berjalannya Madrasah Kammi. Berdasarkan asumsi bahwa Madrasah KAMMI berjalan dengan baik.  Sehingga timbul kebutuhan untuk mengenal Al Qur’an lebih jauh lagi.

3.    PENANGGUNG JAWAB
Departemen Kaderisasi Komisariat, atau gabungan komisariat.

4.    Materi
·         Mengenal Lebih Jauh tentang Qur’an
·         Akhlaq terhadap Qur’an
·         Ilmu Tafsir
·         Tasmi’ Qur’an
·         Menghapal Qur’an
Membaca Qur’an dengan Benar

Minggu, 17 Februari 2013


Panduan Pelaksanaan Training Organisasi
Manhaj 1427 H

1.    Tujuan Umum
·         Agar para kader memperoleh pengetahuan dan kemudian memahami dasar-dasar keorganisasian secara umum
·         Memberikan pengetahuan mengenai dasar-dasar kepemimpinan.

2.    Tujuan Khusus
·            Peserta dapat memperolah gambaran pengelolaan organisasi yang efektif
·            Sebagai sarana untuk melatih ketrampilan praktis organisasi

3.    Fokus
·         Mengingat banyaknya training sejenis yang dilaksanakan oleh lembaga maupun organisasi lainnya, maka training organisasi ini lebih fokus pada keorganisasian KAMMI, sehingga diharapkan saat lulus dari training peserta lebih paham mengenai seluk beluk keorganisasian dalam KAMMI dan dapat menjalankan peranannya sebagai pengurus di tubuh organisasi KAMMI dengan tidak mengalami banyak kesulitan dan lebih baik.

4.    Pelaksanaan
·             Training dilaksanakan oleh komisariat yang mampu untuk melaksanakan sendiri atau gabungan komisariat.

5.    Waktu Pelaksanaan
·         Training ini dilaksanakan menjelang akhir masa kader sebagai AB I. (Menjelang dilaksanakannya DM II). Dengan harapan training ini benar-benar berfungsi sebagai bekal terjunnya kader dalam kepengurusan KAMMI setelah ia lulus DM II dan terlibat lebih aktif sebagai pengurus di komisariat.
·         Training dilaksanakan selama dua hari satu malam.

6.    Materi Training
·         Team Building
·         Manajemen Organisasi
·         Manajemen Rapat
·         Manajemen Waktu
·         Manajemen Konflik
·         Merancang Program Kerja
·         Analisis swot
·         Materi Persidangan
§  Konstitusi KAMMI:
·         AD/ART/GBHO/MPO KAMMI
§  Teknik Sidang





Panduan Pelaksanaan Training Jurnalistik
Manhaj 1427 H

1.    Definisi
Suplemen dalam pembentukan kemampuan kehumasan bagi kader AB 1 KAMMI.

2.    Tujuan :
·         Sebagai regenerasi dalam kemampuan bidang kehumasan
·         Membuka pemahaman kader akan karakter dan positionong kehumasan (publikasi) dalam pergerakan 
·         Melatih kader terbiasa agar terbiasa menuangkan idenya dalam tulisan 
·         Melatih peserta agar dapat berkomunikasi dengan siapapun
·         Melatih kader agar dapat mengelola kegiatan publikasi yang efektif dan efisien.

3.    Syarat Peserta
·         Telah mengikuti DM I
·         Berpotensi mengikuti pembinaan di KAMMI.

4.    Pelaksanaan
·         Diselenggarakan minimal 6 bulan sekali.
·         Pelaksana dan penanggung jawab adalah KAMMI komisariat

5.    Perangkat yang harus dipersiapkan sebelum pelaksanaan
  • KAMMI komisariat menginformasikan ke KAMMI dearah perihal kegiatan training jurnalistik selambat-lambatnya satu bulan sebelum terlaksananya acara.
  • KAMMI komisariat membuat publikasi yang dapat disebar di tiap komisariat.
  • Pendaftaran Administratif, meliputi:
o     Biodata dan photo (muatan terlampir), sasarannya mengetahui identitas calon peserta dan pemahaman keislaman serta pemahaman organisasi sebelumnya.
o     Lembar isian Pre test, sasarannya mengetahui pemahaman tentang kehumasan/publikasi/jurnalistik dengan segala permasalahannya, sehingga dapat di ketahui kebutuhan pelatihan yang harus diberikan
·         Hasil Biodata, photo dan lembar isian pre test diserahkan ke panitia selambat-lambatnya 2 pekan sebelum kegiatan berlangsung.

6.    SOP (Standart operasional procedur)
·         Acara berlangsung selama 24 jam (1 hari 1 malam) dengan ketentuan sebagai berikut:
·         Muatan materi  40% praktek, 60% materi.
·         Metode penyampaian materi diskusi, ceramah dan studi kasus
·         Suasana yang harus dibangun selama acara adalah suasana pelatihan/training, tapi harus mengacu pada kaidah yang dibenarkan oleh syari'at.
§  Menjaga nilai syar’i
n  Tempat duduk peserta ikhwan  dan akhwat terpisah (terhijab).
n  Diupayakan lokasi  penginapan  antara  peserta ikhwan dan akhwat  terpisah.
§  Penyelenggaraan  dilakukan di dalam kota
·         Pengkondisian Acara
      Ukhuwah
     Peserta diwajibkan mengenal seluruh peserta dengan kemasan acara  yang diatur oleh panitia. Ada pembentukan team work dengan pembebanan tugas-tugas yang berfungsi membangun soliditas peserta.
      Kedisiplinan
     Membuat  nuansa indibath (kedisiplinan) kader dengan pemberian tugas dan mekanisme sanksi mendidik. Mengefektifitas agenda acara.
      Keberanian
     Menstimulasi peserta agar dapat mengemukakan pendapat baik melalui labeling, door prise dan atau predikat peserta terbaik. Adanya pemantapan keberanian saat materi berlangsung baik dalam hal mengemukakan maupun pada sikap dan tindakan pada saat simulasi (praktek)
      Tsaqofah
     Memberikan ruang kebebasan ekspresi yang lapang  bagi  peserta untuk mengemukakan gagasan, solusi maupun  kritik dalam membedah permasalahan keummatan. Metode ini dapat dilakukan dengan bedah kasus, pemutaran film, peragaan gambar dan lain sebagainya.
     Adanya evaluasi penyampaian pada tiap materi sebagai bentuk penjagaan subtansi materi baik secara formal ( seperti lembar evaluasi, pre test dan post test) maupun non formal (evaluasi langsung disela-sela acara).

7.    Materi
·         Materi  terdiri dari 4 materi wajib dan 2 materi suplement.
·         Materi wajib:
o     Dasar-dasar humas
o     Penulisan berita dan Pendapat
o     Komunikasi Efektif
o     teknik publikasi
·         Materi suplemen (sesuai kebutuhan di tiap komisariat):
o     Layout Media (Page maker dan Office Publisher)
o     Retorika

8.    Penilai Kelulusan
·         Penilaian peserta ditentukan oleh tim kaderisasi & humas KAMMI komisariat berdasarkan  syuro' dengan ketentuan sebagai berikut:
o     Lembar pre Test test yang telah diisi peserta di awal pelaksanaan acara.
o     Peserta dinyatakan lulus bila mengikuti materi>75%
o     Peserta dianggap lulus apabila telah menyelesaikan tugas yang diberikan selama pelatihan berlangsung
o     Peserta dinyatakan tidak lulus apabila materi yang diikuti < 50% dan disarankan untuk mengikuti training jurnalistik kembali.
o     Post Test ,yakni test akhir materi (isinya disesuaikan dengan materi) yang  bertujuan untuk melihat perkembangan pemahaman peserta.
o     hasil post test tersebut dapat menjadi rekomendasi bagi KAMMI komisariat dalam memilih pengurus selanjutnya (khususnya humas).

9.    Follow Up
·         Follow up dilakukan oleh humas komisariat, ditujukan kepada peserta yang mempunyai kecenderungan di bidang humas berdasarkan hasil post test yang dilakukan oleh kaderisasi dan humas  (bentuk dan format follow up akan disampaikan pada pelatihan kehumasan bulan Agustus 2007 di Yogyakarta)

Copyright @ 2013 KAMMI AL-QASSAM LLG.